Harapan di Tumpukan Sampah

Share

Deli Serdang, ArmadaBerita.Com

Setiap pagi M. Daud (43) berjalan membawa goni dari rumahnya di Jalan Musyawarah, Dusun 16, Desa Sampai, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumut menuju tempat pembuangan sampah di lahan garapan tak jauh dari rumahnya di Pondok Rowo, Desa Sampali.

Ya, M. Daud kesehariannya menjadi pengepul sampah. Selain mengumpulkan sampah-sampah yang bisa bernilai ekonomis, ayah 5 anak ini juga mengelola lahan garapan yang kemudian dia sulap menjadi tempat pembuangan akhir (TPA) sampah. Lahan itu seluas setengah hektar. Dari sampah yang dibuang, dia bisa menghidupi keluarga dan menyekolahkan anaknya.

“Alhamdulillah, saya kini bisa tenang meski dibilang parbotot,” kata pria kurus berambut ikal ini saat ditemui di rumahnya, Senin (30/5/2022) siang.

Di dalam rumah berukuran 4X8 meter yang berdinding tepas itu, M. Daud dan istrinya Ratna Sari (35) punya secerca harapan. Yah, dia ingin menghidupi keluarganya dengan layak dan menyekolahkan ke lima anak-anaknya sampai jadi orang sukses.

Kini anak sulungnya, Mhd Rasyid Indra Jaya (14) telah menamatkan sekolah dasar dan akan masuk SMP. Sedangkan, Wira (12) anak kedua mereka masih di bangku SD, bersama adiknya, Lesmana (10). Semangat M. Daud dan Ratna tak kendur meski dihadapi akan menyekolahkan, Desi (6,5 tahun) dan mengurus anak bungsunya Kiayara yang masih berusia 7 bulan.

Ia menjadi pemulung sekitar 7 bulan lalu. Sebelumnya pekerjaannya hanya mocok-mocok. Terkadang bertani, berternak, dan serabutan. Ia kini mulai memfokuskan menjadi pemulung. Meski penghasilannya tak cukup besar. Namun mereka mampu bersyukur.

“Yang penting ada kemauan dan tidak malas saya yakin bisa menghidupi keluarga dan menyekolahkan anak-anak kami,” tutur M. Daud.

Dia merinci, dari mengepul dengan memilih sampah yang layak jual dia memperoleh Rp 50 ribu per hari. “Penghasilan kalau untuk ngutip sampah nggak dipastikan, karena tergantung rezki. Pada umumnya bisa dapat Rp 30 ribu sampai Rp 50 ribu per harinya,” aku M. Daud.

Akan tetapi, dari lahan setengah hektar yang dikelolanya, dia bisa memperoleh tambahan 200 ribu setiap bulannya dari setiap becak bermotor pengangkut sampah yang membuang sampah di lahan yang dikelolanya. Sekarang ada 9 unit becak pengangkut sampah setiap harinya dengan total Rp 1.800 ribu per bulan. Ditambah lagi sekarang ada 1 mobil pik up yang ikut membuang sampah ke lokasinya dengan iuran Rp 600 ribu per bulan.

“Jadi ada Rp 2,4 juta dari mereka. Lalu dari hasil saya mengepul. Itulah semua buat kehidupan makan dan sekolah anak kami,” kata M. Daud didampingi istrinya sembari memilah milih barang kutipan sampah yang bisa dijual kembali.

M. Daud ditemui di rumahnya saat memilah barang-barang yang dikutipnya dari tempat sampah yang bisa dijual kembali. (ASN)

Awalnya ia tak menyangka lokasi lahan yang dikerjainnya diperbolehkan dan para pengumpul sampah rumahan mau menjadikan lokasi itu jadi TPA. Hal itu karena ada seorang yang memberikan saran dan adanya pengutip sampah rumahan menawarkan diri. Disitu mereka saling membutuhkan dengan sistem Simbiosis Mutualisme. Sebab, sebagian pengutip sampah rumahan merasa kesulitan membuang sampah hasil kutipan. Apalagi dikenakan biaya iuran bulanan cukup mahal.

“Itu pertama kali ditawarin dan saya mulai bulan 11 tahun 2021. Karena mereka (penguntip sampah rumahan-red) merasa terbantu dan bisa menghasilkan uang juga bagi saya, akhirnya saya tekuni,” akunya.

Selain sudah bisa terbilang pengusaha, ia juga tak malu ikut mengepul. Setiap sampah yang dibuang dilahan yang dikelolanya, dikumpulkan dengan memilah dan memilih bahan yang bernilai ekonomi. “Kaleng bisa 4 kg yang perkilo Rp 3 ribu, besi bisa dapat 1½ kg perkilonya Rp 5 ribu, plastik atau atom bisa dapat 3 kg per kgnya itu Rp 3 ribu, Alumunium bisa dapat ½ kg per kg Rp 25 ribu, Tembaga bisa dapat 1 ons per onnya Rp 10 ribu. Jadi totalnya sekitar Rp 51 ribu, tapi jualnya sekitar 2 hari sekali,” katanya.

Saat ini ia mengaku sangat menjiwai dan senang mengerjakan itu semua. Apalagi, kata M. Daud, ada harapan di tumpukan sampah.

“Senangnya saya nguntip sampah karena disitu ada harapan, dari mulai yang terkecil seperti pelastik atom, kaleng, tapi kalau beruntung saya terkadang bisa dapat logam-loga berharga, seperti perak, suasana sampai emas disinilah saya senang dan semangatnya ya karena ada harapan, ditumpukan sampah,” ungkapnya.

Kalau jorok, dan bau sudah nggak jadi hambatan bagi M. Daud. Seiring waktu dan karena desakan kebutuhan ekonomi demi menghidupi keluarga dan menyekolahkan anaknya, ia seakan merasa terbiasa dan nyaman di lokasi sampah.

“Paling hambatannya di masalah jalan, sebab jalannya kalau hujan becek dan agak susah dilalui naik kendaraan,” bilangnya.

Kedepan, ia masih punya harapan bisa mendapatkan pengelolaan lahan yang lebih besar lagi dari yang sekarang. Sehingga dapat menampung para pengepul atau pengutip sampah rumahan. Selain itu mimpinya ingin menjadi pengusaha sampah yang bisa mendaur ulang sampah jadi bernilai ekonomi.

Ia juga berharap dukungan pemerintah Pemkab Deli Serdang dan lainnya, termasuk didukung mengenai legalitas TPA, meski saat membuat itu semua pihak lainnya sampai hari ini diakui M. Daud mendukungnya. “Sampai saat ini baik dari Desa maupun kecamatan mendukung, cuma sekarang masalah tanahnya karena berdiri di lahan garapan atau Eks HGU PTPN,” akunya.

Namun kesemuanya itu ia menginspirasi setiap warga apalagi yang tengah dilanda kekurangan ekonomi agar terus semangat dan bekerja, serta tak harus malu selama itu halal dan tidak melawan hukum.

“Kepada kawan-kawan yang masih pengangguran jangan putus asa, yang penting ada dan mau terus usaha dan berjuang. Intinya jangan malas, gagal bangkit lagi kalau perlu cari bidang lain lagi seperti saya berubah-ubah yang penting positif,” serunya.

Betty boru Pasaribu (38) pemulung yang tengak mengeruk sampah untuk mencari sampah yang bisa dijual kembali. (ASN)

Perjuangan Pemulung

Di TPA itu juga ada belasan pengepul lainnya. Kebanyakan dari mereka kaum hawa. Para omak-omak disana juga menaruh harapan di tumpukan sampah.

Evelina boru Siahaan (61) salah satunya. Ibu dua anak yang tinggal di Pasar 1, Gang Nauli, Desa Amplas, Kecamatan Percut Sei Tuan ini sudah 15 tahunan jadi pemulung di tempat pemungutan sampah. Dia terpaksa mulung karena tak memiliki pekerjaan lain. Apalagi sudah menjadi sejak puluhan tahun.

Dia mulung sedari pagi sampai petang. Dia mulung mengajak anak sulungnya, Betty boru Pasaribu (38) yang juga merupakan seorang janda dan memiliki seorang anak bersekolah SD.

“Saya dan anak saya samasama janda, penghasilan kami hanya dari mengutip sampah-sampah, dulu kami di TPA lain dan terkahir di lahan yang dikelola pak Daud ini,” katanya.

Dengan mengepul sampah, keduanya harus rajin, sebab di rumah anak dan cucu mereka menunggu untuk makan dan agar bisa disekolahkan. “Anak kedua saya, bernama Ekariana boru Pasaribu (34) merantau di Malaysia dan nggak tau keberadaannya, tapi anaknya 3 dan masih kecil serta bersekolah, semua tinggal sama saya. Jadi ada 4 cucu saya yang harus dikasih makan dan disekolahkan,” tuturnya.

Dengan kerasnya tuntutan itu, dia mengaku sempat mengeluhkan pemerintah, sebab, cucunya yang bersekolah tak pernah merasakan bantuan. Apalagi dirinya dan anaknya. Pendapatannya dari memulung tak begitu besar, nyaris serupa dengan M. Daud dengan kisaran Rp 50 ribu per hari.

“Pernah cucu saya Elijah boru Sianturi (12) kelas 6 SD melapor dan senang hati pas istirahat di rumah dia bilang katanya mau dapat bantuan Rp 450 ribu, cuma dia salah baca, rupanya dari kelas 4 sampai kelas enam ternyata gak ada bantuan, nangis dia saya sedih. Kalau teringat itu saya mau nangis aja,” keluh Evelina boru Siahaan dengan uraian air mata.

Begitu pun dengan anak pertamanya, Betty boru Pasaribu. Dia sudah 10 tahun ikut dengan ibunya mulung sampah. Penghasilannya hanya pas-pas buat makan seadanya di rumah.

“Anak saya cuma 1 kelas 1 SD, tapi kami kan juga menanggung anak adek saya yang 3 orang, dan yang satu mau masuk SMP dan 1 lagi masih SD, dan terakhir mau masuk SD juga,” bebernya.

Ia berharap, mereka juga dapat perhatian pemerintah. Pinomat membantu generasil kecil mereka. Agar anak cucu mereka tak bernasib seperti pemulung.

“Semoga ada yang membantu kami, kasihan anak-anak, karena kami mau mereka sekolah dan bisa pintar yang punya keterampilan tidak susah seperti kami,” timpalnya. (ASN)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *