NEWS  

Perang Tarif: Saatnya Memukul atau Terpukul? Di Mana Ekonomi Berdikari Kita? 

Share

Oleh: Fatah Baginda Gorby Siregar

“Bagi bangsa pejuang, tidak ada akhir dalam perjalanan.”

Kalimat ini disampaikan Bung Karno dalam pidatonya, 17 Agustus 1960. Artinya, perjuangan untuk menjadikan Indonesia adil dan makmur tidak akan pernah berhenti.

Kini, dunia memasuki babak baru: perang dagang antarnegara. Amerika Serikat, di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump, berencana menaikkan tarif impor dari berbagai negara, termasuk Indonesia. Awalnya kenaikan tarif ini akan berlaku pada 9 April 2025, namun setelah negosiasi, penetapannya ditunda 90 hari.

Rencananya, barang dari Indonesia akan dikenakan tarif hingga 32 persen. Padahal, pada 2024 nilai ekspor Indonesia ke AS mencapai 28,1 miliar dolar AS, sementara impor dari AS ke Indonesia hanya 10,2 miliar dolar. Ini berarti AS mengalami defisit perdagangan sebesar 17,9 miliar dolar.

Kenaikan tarif tentu akan berdampak besar. Produk unggulan kita seperti sawit, kopi, kakao, tekstil, garmen, alas kaki, hingga nikel dan batu bara akan terganggu. Akibatnya, produksi bisa turun, pengusaha mengurangi tenaga kerja, dan harga komoditas bisa jatuh.

Pemerintah merespons dengan rencana negosiasi ulang dan deregulasi seperti reformasi pajak dan bea cukai, penghapusan kuota impor, hingga digitalisasi proses ekspor-impor. Ini adalah langkah awal yang baik. Tapi itu saja belum cukup.

Yang lebih penting adalah memperkuat ekonomi dalam negeri. Kita harus memastikan petani bisa meningkatkan produksinya, industri lokal bisa bersaing, dan pangan kita aman.

Bung Karno dulu sudah mewanti-wanti soal ini. Ia mendorong ekonomi berdikari — ekonomi yang berdiri di atas kaki sendiri. Bukan berarti menolak asing, tapi bekerja sama dengan modal luar negeri untuk memperkuat ekonomi nasional.

Ia menekankan pentingnya:

  • Memenuhi kebutuhan pokok rakyat seperti pangan, sandang, papan
  • Mengolah bahan mentah sendiri di dalam negeri
  • Memperkuat industri hulu dan industri berat
  • Mengatur distribusi barang agar merata ke seluruh rakyat
  • Membangun industri yang bisa membuka lapangan kerja

Semua itu dilakukan agar Indonesia bisa mandiri, tidak mudah ditekan negara kuat, dan rakyat bisa hidup sejahtera.

Kini, saat dunia kembali bergejolak dan tekanan ekonomi dari luar semakin nyata, kita perlu bertanya:

Di manakah ekonomi berdikari itu kini? Masihkah menjadi pijakan utama kebijakan ekonomi kita?

Mari kita renungkan, dan semoga jawaban atas pertanyaan itu bukan hanya nostalgia, tapi juga panggilan untuk kembali menegakkan kemandirian ekonomi Indonesia. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *