Akankah Hilang Pantar Kami?

Pembatas Sungai dan sawah rusak karena debit air yang melonjak selama musim hujan
Share

Pantar dalam istilah Pakpak merupakan sebutan untuk sejenis gubuk di tengah sawah. Ada juga menyebutnya pantar-pantar. Fungsinya cukup banyak yakni sebagai tempat istirahat bekerja, tempat berteduh ketika menjaga padi (Muro), dan lainnya. Sehingga pantar-pantar merupakan simbol vital dari eksistensi pertanian di sawah. Tidak ada pantar-pantar, maka tidak ada menanam padi, dan tidak ada panen padi.

Kehilangan pantar-pantar atau areal persawahan merupakan hal yang saat ini dirasakan oleh sekelompok petani di Dusun Matanari, Desa Ujung Teran Kecamatan Tigalingga, Kabupaten Dairi. Bagaimana tidak, areal persawahan mereka terancam oleh rusaknya aliran sungai Lae Basbas yang merupakan sumber air persawahan mereka.

Bekas aliran sungai yang sudah memasuki persawahan.

Sepanjang musim hujan semester II tahun 2023 yang tidak menentu menyebabkan debit air Lae Basbas semakin tidak terbendung. Pembatas sawah dan Sungai yang dari jenis rumput,gulma, dan bambu habis beserta tanahnya dibabat debit air yang tidak terbendung. Akhirnya, jika hujan turun, debit sungai bertambah, maka aliran air tidak akan mengikuti alur secara normal namun akan memasuki sawah-sawah petani.

Rusaknya pembatas sawah atau tanggul sawah di dusun tersebut sangat mengkhawatirkan. Ada ratusan rante sawah yang dimiliki oleh puluhan orang bergantung pada sungai Lae Basbas. Areal persawahan di Lae Basbas merupakan salah satu areal persawahan utama yang ada di Dusun Matanari. Jika tidak segera diperbaiki, mengingat intensitas musim hujan dan cuaca yang tidak menentu, maka alur sungai Lae Basbas akan menerobos sawah-sawah, mengobrak-abrik persawahan dan melenyapkan pantar-pantar milik penduduk.

Pembatas sungai dan sawah yang tergerus sungai sepanjang musim hujan

Sebenarnya para petani yang ada di areal persawahan tersebut beberapa secara bergotong-royong membangun tanggul sederhana. Terakhir para petani tersebut bergotong-royong membangun tanggul dibantu dana Rp 8 juta yang diserahkan oleh Kepala Desa. Penulis tidak tahu sumber dana tersebut.

Hasilnya bisa ditebak. Tanggul hasil dana seadanya tersebut hancur dan hilang hanya sekali hujan datang. Hal ini semakin menimbulkan kekhawatiran Masyarakat. Masyarakat kini hanya berharap bantuan dari Pemerintah Kabupaten Dairi bahkan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Semoga ada upaya dan perhatian dari pemerintah daerah terhadap masalah tersebut. Semoga. (*)

Penulis adalah Dosen Politeknik Teknologi Kimia Industri Medan, Kementerian Perindustrian. Lahir dan tumbuh besar di Dusun Matanari, Desa Ujung Teran, Tigalingga, Dairi, Sumut.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *